Malam
ini merupakan malam ketiga di bulan Ramadhan tahun ini. Lagi-lagi belum juga
terlelap. Jakarta malam hari panas sekali. Kipas yang menyala bahkan tidak bisa
mengusir hawa panas yang menyergap. Kemudian aku dengar suara air jatuh. Deras.
Seperti kran yang dibiarkan menyala terus-terusan. Aku mematikan kipas. Berusaha
memastikan siapa yang menyalakan air malam-malam begini. Paranoid. Aku pikir
aku salah dengar. Sengaja kubuat kamarku sunyi. Lalu tersadar, itu bukan kran
air. Hujan. Hujan pertama sejak aku menginjakkan kaki di rumah dua minggu yang
lalu. Aku terperanjat. Merasakan sebuah perasaan asing menelusup ke dalam
diriku. Lalu aku menghentikan semua aktivitasku beberapa saat, sekedar
mengheningkan cipta. Entah untuk apa. Namun dalam dua hari berpuasa, tidak
kurasakan perasaan bahagia karena dapat kembali berada di bulan ini. Apa yang
salah, aku bertanya-tanya. Belum kutemukan jawaban.
Dalam
beberapa detik yang telah terlewat, ketika dalam masa mengheningkan cipta, aku
sedikit melakukan flashback.
Aku kurang
bersyukur. Kurang berucap ‘Alhamdulillah’, seperti yang seharusnya seorang
muslim lakukan. Ya, aku adalah seorang muslim. Namun tidak menyukai perdebatan
dan tidak ikut mendukung aksi apapun yang hampir membuat negeri ini hancur (re:
demo penistaan agama). Aku menghela napas panjang. Rasa hampa menelisik masuk
ke dalam dada. Apa yang salah, lagi-lagi aku bertanya. Mengapa aku menjadi
pribadi yang aneh seperti ini?
Ada yang
hilang. Sesuatu yang penting, yang seharusnya membuatku tersenyum setiap hari.
Sebagai
permulaan, aku telah lama meninggalkan rumah untuk melanjutkan studi (re: merantau)
ke kota Solo. Baru-baru ini, studi ku selesai. Waktunya tiba untuk menghadapi
realitas. Kembali ke rumah sebagai permulaan. Memulai kembali hidupku yang
telah kutinggalkan di Solo. Memungut kembali kenangan-kenangan semasa sekolah
dulu dengan berkeliling ke beberapa tempat yang pernah kukunjungi. Bukan sebuah
hal yang menyenangkan, mengingat kenangan-kenangan tersebut malah membuatku
bersedih. Selalu seperti ini jika otakku memutar kembali gambaran-gambaran
peristiwa yang pernah kulalui. Sakit. Bukan hanya kali ini, berkali-kali
terjadi.
Saat
rasa sedih menyergap, aku tidak bisa mengekspresikannya. Bukan keahlianku
menjadi seorang perempuan yang bertingkah seperti kebanyakan orang. Aku akan
mengurung diri, tidak akan melakukan apapun. Terlalu lekat dengan kasur dan
akan memutar film-film yang pernah kutonton sepanjang sisa hari itu. Hal itu
terulang hari ini. Aku tidak melakukan apapun. Apa yang salah?
Perlahan,
ketika waktu berbuka hampir tiba, aku teringat satu hal. Hal yang membuatku
sedih berlebihan hari ini. Aku hanya merindukan suasana tahun-tahun sebelumnya,
saat menjalani puasa Ramadhan di kota Solo. Merindukan suasana sahur, siang
hari yang sejuk, waktu yang berlalu dengan sangat cepat, ngabuburit di depan
kampus atau di belakang stadion Manahan, hingga tarawih di kampus. Waktu itu
aku belum mengerti bahwa apa yang kujalani sewaktu-waktu akan terulang. Hari ini,
detik ini, aku menyadarinya. Aku tidak bisa mengulang momen. Seperti ini
kelemahanku, terlalu lama terjebak dalam masa lampau. Sungguh menyiksa. Bukan aku
tidak ingin kembali ke rumah, namun waktu yang telah kulewati di kota tersebut
merupakan waktu-waktu yang sangat menyenangkan. Merupakan waktu-waktu terbaik. Waktu-waktu
paling membahagiakan. Jika orang lain berkata bahwa masa SMU adalah masa yang
tak bisa terlupa, sepertinya kurang tepat bagiku. Waktu kuliahku adalah waktu
yang sulit terlupa begitu saja. Karena semuanya begitu berbeda dengan
kehidupanku di Jakarta. Selama dua belas tahun bersekolah, tujuh belas setengah
tahun kuhabiskan di rumah, mengenal semua orang yang kemudian menjadi lekat
denganku, aku tidak bisa mempelajari hal-hal baru. Tidak bisa menemukan siapa
diriku, apa maunya aku. Semua kutemukan di kota kecil itu. Salahnya, aku
terlalu melekat. Sulit terlepas, sulit mengikhlaskan.
Banyak
hal kulewati, banyak orang kutemui, banyak budaya kupelajari. Mempelajari sejarah
mengharuskanku memperkaya diri sendiri dengan banyak pengalaman dan
pengetahuan. Mengenal orang-orang baik yang di sana, membiasakan diri berbahasa
Jawa, hingga kutemukan diriku. Aku senang menulis, senang mengenal hal baru,
senang pergi ke tempat-tempat jauh, senang bermotor mengelilingi kota, senang
dengan suasana kota di malam hari. Makan malam di angkringan dan kaki lima
hingga mengobrol ngalor-ngidul sampai
tengah malam. Rasanya aku tidak bisa tidak melakukan rutinitas seperti itu.
Saat
ini, aku bisa menggambarkan diriku sendiri sebagai seorang anak kecil yang
mainannya dirampas paksa dan dilarang untuk mendekati mainan tersebut seakan
benda itu adalah benda beracun yang bisa membuatku lenyap dari dunia ini. Aku kehilangan
banyak hal. Kembali ke Jakarta, kembali ke pangkuan orang tua. Aku merasa asing
di rumah sendiri. Seakan ini bukan rumahku. Seakan aku tidak tinggal di sini
dulu. Tidak ada yang dapat menolongku. Tidak ada yang mengerti bagaiamana
perasaanku saat ini, apa yang kuinginkan sekarang. Sejak meninggalkan Solo dua
minggu lalu, baru sekarang aku menangis. Menyesalkan waktu yang berlalu terlalu
cepat dan tidak memberiku kesempatan untuk menikmati kebahagiaan itu lebih lama
lagi.
Aku hanya
ingin tinggal lebih lama, tertawa lebih sering. Menjalin silaturahmi lebih
erat, mengganti waktu-waktu yang terbuang sia-sia. Menjadi berarti bagi banyak
orang. Mengenal teman-temanku yang kutinggalkan jauh di sana lebih dekat lagi. Aku
ingin memutar waktu. Membawa diriku kembali ke dalam momen-momen yang pernah
tercipta. Memeluk mereka satu per satu dan berpamitan dengan pantas. Lalu membuat
janji, aku akan kembali. Suatu hari nanti.